MAKNA BERMUHAMMADIYAH

Allahumma, inna ustadzuna Suprapto Ibnu Juraimi, fi dzimmatika wa habli jiwarika, faqihi fitnatal qabri wa-adzabannar, wa anta ahlul wafa-i wal haq, faghfirlahu warhamhu, innaka antal ghafurur rahim.
> (Ya Allah, sesungguhnya ustad kami, ustad Suprapto Ibnu Juraimi ini, erada di dalam kekuasaan-Mu, karena itu mohon hindarkanlah  ia dari  fitnah kubur dan adzab neraka. Engkaulah yang paling berhak
  Maha Memenuhi janji dan Maha Benar. Maka ampunilah ia dan anugerahilah ia   rahmat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha   Penyayang). >

MAKNA BERMUHAMMADIYAH* )

  KH. S. Ibnu Juraimi
> Alhamdulillah, ketika saya pertama kali memangku tugas
> selaku Majelis
> Tabligh PP Muhammadiyah, sekitar dua tahun yang lalu, telah
> dapat
> dilaksanakan ‘proyek’ Rihlah Dakwah tahap I yang ketika
> itu dimulai
> dari Magelang, Temanggung, Banjarnegara, Purwokerto dan
> Tegal.
> Program ini merupakan suatu terobosan dari Majelis Tabligh
> PP
> Muhammadiyah, yaitu model kajian selama satu hari satu
> malam,
> menggunakan pendekatan spiritual dan intelektual. Selama 2
> tahun itu,
> sekitar 215 PDM sudah sempat dikunjungi untuk melaksanakan
> pengajian
> ini. Bahkan ada yang sudah sampai 3 kali, karena mereka
> minta
> dilaksanakan lagi.
>
> Tema yang diangkat dalam kajian satu hari satu malam ini
> adalah
> “Meningkatkan Kualitas Kepribadian Pimpinan agar
> Berakidah yang Benar,
> Memiliki Kemampuan Berpikir Bayani, Burhani dan Irfani,
> serta Dapat
> Menjadi Uswah Hasanah”. Sebuah tema yang luar biasa.
> Kalau
> dilaksanakan dengan waktu hanya kira-kira 1,5 jam,
> harapannya tidak
> mungkin akan tercapai. Sebab, pengajian model ini
> memerlukan proses.
> Dan, proses yang paling tepat itu kalau pengajian ini
> diprogram mulai
> dari pukul 4 sore sampai pukul 6 pagi esok hari.
> Pengajian ini dulu sudah pernah dicoba oleh PDM Temanggung
> dengan
> sasaran peserta para pimpinan. Para pimpinan Muhammadiyah
> ini dituntut
> menjadi pribadi yang berkualitas, sanggup berfikir bayani,
> burhani dan
> irfani.
>
> Materi kajian dibagi dua. Karena menyangkut pimpinan
> Muhammadiyah,
> yang saya angkat pertama kali adalah tentang makna
> bermuhammadiyah.
> Jangan-jangan setelah sekian tahun bermuhammadiyah,
> ternyata kita
> tidak tahu apa sebenarnya bermuhammadiyah itu.
> Kira-kira setahun yang lalu, PWM DIY mengadakan kegiatan
> pembinaan
> Daerah. Saya mendapat tugas untuk melakukan Konsolidasi
> Ideologi. Saya
> angkat tema “Bagaimana seharusnya kita
> bermuhammadiyah”. Ada lima hal
> pokok di dalam kita bermuhammadiyah.
> Nampaknya, acara itu dianggap menarik. Sehingga pada tiga
> tempat yang
> menjadi tugas saya dalam Konsolidasi Ideologi ini, saya
> mengangkat
> tema ini. Setelah itu, insya Allah, baru kita bisa
> memposisikan diri
> sebagai pimpinan Muhammadiyah, dan apa yang perlu dilakukan
> sebagai
> pimpinan Muhammadiyah.
>
> Dari pengamatan, saya menjumpai di beberapa Daerah/PDM, ada
> Pimpinan
> Daerah yang diangkat menjadi pimpinan langsung dari
> Pimpinan Ranting,
> bahkan menduduki jabatan sebagai Ketua PDM. Padahal dia
> tidak tahu
> seluk beluk Muhammadiyah, tidak kenal apa itu Muqaddimah
> Anggaran
> Dasar Muhammadiyah, tidak tahu apa itu MKCH, apalagi
> Kepribadian
> Muhammadiyah. Hanya karena kebetulan dia pinter bicara,
> ketika
> diselenggarakan Musyawarah Daerah, ia kelihatan menonjol,
> lalu
> terpilih menjadi ketua PDM.
>
> Di sisi lain, bisa kita saksikan juga bahwa banyak orang
> tertarik
> dengan Muhammadiyah. Rupanya dengan aktif di Muhammadiyah
> itu bisa
> menjadi jembatan untuk, misalnya, menjadi anggota Dewan
> (wakil
> rakyat).
>
> Konon, saya tidak tahu pasti, di Jawa Tengah, kini sedang
> ramai-ramainya orang Muhammadiyah berupaya untuk bisa
> menjadi calon
> anggota Dewan. Padahal tidak semua dari mereka itu bisa
> terangkat
> menjadi anggota Dewan, sehingga kemudian terjadi masalah.
> Di antara
> mereka sendiri saling padu, konflik antar sesama teman
> sendiri.
> Memperhatikan hal yang demikian, maka kita perlu faham
> bagaimana
> sebenarnya bermuhammadiyah itu.
>
> Makna Bermuhammadiyah: Pertama, Bermuhammadiyah adalah
> Berislam
>
> Makna bermuhammadiyah yang pertama dan paling utama serta
> sangat
> mendasar adalah berislam. Bagaimana maknanya berislam itu?
> Mengungkap hal ini, saya akan membuka lembaran sejarah yang
> sudah amat
> jarang diketahui oleh para pimpinan Muhammadiyah.
> Alhamdulillah, saya beruntung, mendapat rahmat ketika saya
> bisa
> nginthil, mengikuti guru saya, seorang ulama besar di
> Jogjakarta,
> Bapak K.H.R. Hadjid. Beliau dijuluki sebagai Asyaddul
> Muhammadiyah,
> Jago Tua Muhammadiyah, sekretaris Badan Penasehat PP
> Muhammadiyah.
> Gara-gara saya ditendang dari IAIN, saya justru sempat
> berguru kepada
> beliau selama tidak kurang dari 10 tahun.
>
> Saya sempat mendengar kisah yang dialami beliau. Beliau
> termasuk murid
> termuda K.H. Ahmad Dahlan. Nampaknya, beliau satu-satunya
> murid yang
> mencatat pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Kami sempat
> beberapa kali
> menerbitkan Buku Pelajaran Kyai Ahmad Dahlan itu dalam
> bentuk
> stensilan. Terakhir, diterbitkan oleh Depag Jawa Tengah,
> dibagi secara
> gratis untuk PDM-PDM se Jateng. Buku itu adalah Himpunan
> Ayat-ayat
> Alquran yang Difahami oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.
> Buku itu berisi tentang bagaimana cara memahami, bagaimana
> cara
> mengajarkan, dan bagaimana pula cara mengamalkannya. Semua
> itu
> terungkap dalam Buku Pelajarannya Kyai Haji Ahmad Dahlan
> yang ditulis
> oleh KHR Hadjid. Generasi sekarang ini barangkali tidak
> banyak
> mengenalnya. Yang dikenal mungkin malah putra tertuanya
> yang juga
> terkenal, Bapak R.H. Haiban Hadjid.
>
> Dua pertanyaan Kyai Ahmad Dahlan; Muhammadiyah Urung
> Menjadi Partai Politik
>
> Tahun 1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP
> Muhammadiyah) . Di
> situ para assabiqunal awwalun Muhammadiyah berkumpul, para
> pendiri dan
> generasi pertama pimpinan dan aktivis Muhammadiyah. Yang
> menarik,
> dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal
> sebagai
> orang atau aktivis Muhammadiyah. Yang menarik adalah beliau
> bisa
> tampil meyakinkan dalam forum para pembesar, pimpinan
> Muhammadiyah
> generasi pertama berkumpul. Orang itu adalah Haji Agus
> Salim.
>
> Haji Agus Salim punya gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah
> sebagai
> partai politik. Kalau pada masa Orde Baru Muhammadiyah
> disebut
> orsospol, dan beberapa pimpinan Muhammadiyah menjadi
> anggota Dewan.
> Ternyata, menjelang akhir hayat Kiyai Haji Ahmad Dahlan,
> sudah muncul
> juga “ambisi” menjadikan Muhammadiyah sebagai parpol.
> Sidang dipimpin
> oleh Kiyai Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim adalah
> seorang
> jurnalis, politisi dan diplomat yang hebat. Tidak ada yang
> bisa
> mengalahkannya dalam berdebat.
> Dalam sidang Hoofdbestuur, argumentasi yang disampaikan
> Haji Agus
> Salim membuat seluruh yang hadir terpukau, terkesima dan
> setuju untuk
> menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai
> Dahlan, karena
> menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat.
> Setelah Kyai Dahlan melihat bahwa nampaknya yang hadir
> sepakat dengan
> gagasan Haji Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang
> memimpin sidang
> dengan duduk, lalu berdiri sambil memukul meja. Saya tidak
> sempat
> bertanya kepada guru saya, Kiyai Hadjid, apakah Kyai Dahlan
> memukul
> mejanya keras apa tidak.
>
> Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat
> sederhana dan
> sangat mudah. Dan kalau dijawab, sebenarnya juga gampang.
> Pertama, apa
> saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa
> saudara
> berani beragama Islam?
> Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab
> pertanyaan
> itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa,
> sebab mana
> mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi,
> ketika
> ditanya “Beranikah kamu beragama Islam?”. Mereka tahu
> persis yang
> ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
> Pak Hadjid muda, bercerita kepada saya, “Bukan main
> tulusnya
> pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu”. Sebenarnya
> pertanyaan itu
> sederhana, tapi tidak ada yang sanggup menjawab. Akhirnya
> gagasan Haji
> Agus Salim tidak kesampaian. Muhammadiyah urung jadi partai
> politik.
>
> Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, sekarang baru
> terjawab
> satu. Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di
> Surabaya tahun
> 1978. Jawaban itu berupa keputusan tentang Ideologi Islam,
> Pokok-Pokok
> Pikiran tentang Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak H.
> Djindar
> Tamimy. Jadi, setelah kira-kira 56 tahun baru terjawab satu
> pertanyaan.
> Sedangkan pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum
> ada yang
> berani menjawab. Tahun 1960, kebetulan saya masih sering
> mendengar,
> ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, “Durung Islam
> temenan, nek
> durung wani mbeset kuliti dewe” (Belum Islam
> sungguh-sungguh, kalau
> belum berani mengelupas kulitnya sendiri).
>
> Yang akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan
> Kiyai Haji
> Ahmad Dahlan tadi, apa Islam itu, bisa dibuka pada
> Pelajaran Kiyai
> Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam
> mengungkap ayat
> itu menarik sekali. Ayat yang diungkap adalah ayat yang
> sudah populer.
> Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa
> iftitah shalat
> menggunakan hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu
> wajhiya….).
> Buku itu mengungkap dan mengajarkan bagaimana Islam itu.
> Ternyata,
> setelah sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan baru
> sanggup
> mengaplikasikan dan merealisir ajaran Alquran tidak lebih
> dari 50
> ayat. Dua ayat diantaranya ada dalam surat Al An’am. Qul
> inna shalati
> wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati lillaahi rabbil alamin.
> Laa
> syarikalah wa bidzalika umirtu.
>
> Dalam salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini
> diucapkan oleh
> Nabi Ibrahim AS. Kata-kata dalam ayat Alquran yang menyebut
> aslama-yuslimu- aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS. Jadi,
> awwalul
> muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu
> Rasulullah Saw.
> Maka di dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan
> shalat tadi
> boleh dipilih antara awwalul muslimin atau wa ana minal
> muslimin.
> Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh shalatku;
> wa nusuqi,
> dan pengorbananku; wa mahyaya, dan kiprah hidupku; wa
> mamati, dan
> tujuan matiku; lillah, hanya untuk dan karena Allah; raabil
> alamin,
> pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu
> bagi-Nya; wa
> bidzaalika umirtu, dan dengan itu aku diperintah; wa ana
> awwalul
> muslimin, dan aku orang yang pertama, pasrah, setia tunduk
> kepada
> Allah Subhanahu wataala. Amin ya rabbal alamin.
> Itu makna yang populer, kecuali kata nusuq yang saya
> terjemahkan
> menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan, nusuq
> diartikan
> ibadah.
> Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat tapi
> saya punya
> kitabnya, nusuq bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah
> adalah
> nasaqun. Nusuq artinya menyembelih kurban. Maka saya
> artikan, nusuqi
> adalah pengorbananku. Jadi, “shalatku, pengorbananku,
> hidup matiku,
> lillahi rabbil alamin”.
>
> Kyai Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal
> sebagai
> kamus berjalan, memaknai dengan liman kana yarju……
> “Sungguh, shalatku,
> pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah”. Dalam
> terjemah
> Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan
> ini orang
> bisa tertegun, “Hanya karena untuk Allah rabbil
> alamin.”
> Laa syarikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Pengertian ini
> oleh Kyai
> R.H. Hadjid, yang telah mendengar pelajarannya langsung
> dari Kiyai
> Dahlan dengan terjemahan tafsir  “itu tidak untuk selain
> Allah”.
> Karena syarikat bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja bisa
> dianggap
> sekutu.
> Lalu ayat tadi bermakna apa? “Shalatku, pengorbananku,
> hidup dan
> matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta”. Laa
> syarikalah, tidak
> ada sekutu selain Allah. “Aku diperintah untuk hidup
> dengan model cara
> yang seperti itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain.
> Tidak untuk
> anak istriku. Tidak untuk orang tuaku, juga tidak untuk
> bangsa dan
> tanah airku”. Tanah dan air itu kalau jadi satu namanya
> blethokan.
> Hidupku tidak untuk itu.
> Pertanyaannya, lalu untuk apa? “Bela hakmu, perjuangkan
> hakmu. Membela
> tanah air adalah sabilillah. Membela tanah air bukan karena
> kemauan
> tanah air, tetapi karena Allah”. Di sini lalu maknanya,
> “berbuat
> baiklah kamu kepada orang tuamu”. Bedanya dengan ihsan,
> tidak sekedar
> karena naluri, atau karena punya naluri berbakti kepada
> orang tua,
> tetapi begitu lengkap. Sebab itu karena perintah Allah,
> dari kata
> “wa-ahsinuu, …..birrul walidaini”.
> Jadi jelas sekarang ini. Lalu ditutup dengan “wa ana
> awwalul muslimin.
> O, ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam, maksudnya,
> mendidik
> kita untuk hidup model seperti itu. Tidak pakai tiru-tiru
> model yang
> lain.
>
> Dalam setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak
> bisa yang
> namanya hidup kecuali semuanya dalam bentuk kepasrahan,
> niat yang
> tulus berbakti kepada Allah, apapun yang dilakukan.
> Sebagaimana ayat
> yang populer, wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa
> liya’buduun.
> Manusia ini hidup diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu
> kalimat
> yang dimulai dengan nafi, yang di belakang ada illa itu,
> merupakan
> satu doktrin kepastian) hidup ini hanya untuk beribadah,
> tidak lain.
> Maka, semua aktivitas hidup kita harus punya nilai dan
> nafas ibadah.
> Di situlah makna hakekat dari Islam.
>
> Dari ayat ini, beliau yang memang orang alim dan
> orang-orang generasi
> pertama, bisa menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak
> sanggup
> menjawab.
> Maaf, jika orang sudah bicara politik, hampir bisa
> dipastikan yang
> dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi
> mubaligh, sama-sama
> aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah sampai pada soal
> kampanye,
> jangan tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak
> disinari
> oleh Islam. Sehingga, rasa-rasanya, kita ini sepertinya
> tidak punya
> panutan, siapa politikus kita yang bisa membawa amanah
> Islam. Rasanya
> jauh sekali dengan para pendahulu kita. Seperti Pak
> Muhammad Natsir,
> yang kalau mau sidang ke DPR hanya naik becak, tidak mau
> dijemput
> mobil.
>
> Bermuhammadiyah adalah berislam. Ungkapan ini memang cukup
> tandas.
> Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam berislam sudah
> bukan main
> trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi yang bernilai
> ramalan
> itu, “Akan datang kepada kamu sekalian, suatu jaman
> dimana Alquran
> tidak kekal lagi, Islam tidak tegak lagi kecuali hanya
> nama. Memang
> banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi perilaku dan
> tindakannya
> jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak
> jamaah, tapi
> sepi dari kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu
> agamanya
> menjadi orang yang paling jahat di kolong langit. Dari
> mereka keluar
> fitnah”. Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang
> tadi. Jika hal
> ini disebut oleh Rasulullah, ini yang jelas terjadinya
> sepeninggal
> Rasululah.
>
> Rupanya, hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi,
> yakni di
> jaman sekitar hidup Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana
> Alquran yang
> punya bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat, lau anzalnya
> haadzal
> qur’ana ala jabalin………min khasyatillah (Seandainya
> kami turunkan
> Alquran kepada gunung, kamu akan tahu Muhammad, gunung itu
> akan
> menolak, tunduk, hancur lumat karena takutnya kepada Allah.
> Itulah
> kekuatan dahsyat dari Alquran), tapi tidak diamalkan lagi.
>
> Sekarang ini, berapa juta kali Alquran dibaca setiap hari.
> Ratusan
> karya tafsir yang menjelaskan dari kata maupun kalimat
> untuk
> menjelaskan ayat-ayat Alquran, berapa pula diangkat di
> dalam seminar,
> simposium, diskusi, namun tetap juga sulit untuk
> mendapatkan pembaca
> Alquran itu yang meneteskan air mata. Sudah susah kita
> menemui orang
> sesenggukan membaca Alquran. Dan amat sukar kita dapati
> orang yang
> terisak-isak karena mendengarkan peringatan ayat-ayat
> Alquran.
>
> Tidak ada orang yang tersungkur karena mendengar ayat-ayat
> Alquran,
> kecuali tersungkurnya karena sujud tilawah itu saja. Masih
> mending,
> kita masih mau setia mengikuti sunnah Nabi. Setiap Jum’at
> Shubuh, Nabi
> selalu membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat
> Al-Insan
> di rakaat kedua. Yang seperti ini sekarang di Jogja hampir
> tidak ada.
> Kita perlu mengelus dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca
> saja tidak
> apalagi diamalkan.
>
> Begitu pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas,
> orang
> Indonesia, khususnya orang Jawa, Islamnya cuma dalam tiga
> hal.
> Berislam ketika tetak (khitan), ketika menikah, dan saat
> prosesi
> kematiannya. Kalau sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem.
> Anakku wis
> diislami (anakku sudah diislami), begitu batinnya. Kemudian
> kalau mau
> menikah, mereka sudah mantap mengundang Pak Naib. Dan
> ketika meninggal
> mengundang ahli tahlil. Dengan ketiga hal itu, sudah
> dianggap lengkap
> Islamnya.
>
> Anehnya, diantara orang-orang  yang beragamanya hanya tiga
> kali seumur
> hidup itu, malah ada yang diangkat menjadi amirul haj
> Indonesia. Ini
> sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya cara
> berislamnya yang
> merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga
> termasuk
> perusak dan pemecah belah ummat Islam. Sampai seperti ini
> yang terjadi
> di Indonesia yang memang, katakanlah, sedikit atau banyak
> bersifat
> gado-gado.
> Ketika belum ada agama yang masuk, orang Indonesia masih
> primitif,
> membakar kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika datang ajaran
> Hindu,
> diterima. Lalu ketika datang ajaran Budha, juga diterima,
> datang Islam
> juga diterima, dan terakhir, Kristen juga diterima.
> Semuanya bergabung
> menjadi satu, Pancasila.
>
> Inilah yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan
> umat Islam.
> Masih lumayan, masih ada sekelompok (besar) orang, yang
> beranggapan
> kalau sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya. Hal ini
> bisa dilihat
> kalau, misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan
> bis yang
> mengantar bisa sampai tujuh buah, disebabkan oleh
> penghormatan kepada
> orang yang mau berangkat haji yang demikian besarnya.
> Bahkan ketika
> mengantar sampai di Bandara pun menangisnya bisa sampai
> sesenggukan.
>
> Memang bagus dan elok bisa pergi berhaji. Tapi dengan
> beribadah haji
> itu belum tuntas kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya
> ibadah haji
> masih dalam tataran pondasi. Buniyal islamu ala khomsin….
> Islam itu
> dibangun di atas lima perkara, yang kita kenal dengan rukun
> Islam.
> Lima perkara itu adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
> berhaji,
> itu baru pondasi. Untuk membangun keluarga sakinah memang
> harus lima
> perkara itu dulu yang ditata. Sebab, ada orang yang berhaji
> berkali-kali, tapi ternyata keluarganya tidak juga kunjung
> menjadi
> keluarga sakinah.
>
> Nah, ini merupakan catatan penting untuk dakwah
> Muhammadiyah,
> bagaimana umat ini dikenalkan dengan berislam yang
> sebenarnya. Saya
> tidak menyinggung lebih jauh lagi apa kemudian pedomannya,
> pelatihannya, dan sebagainya, bukan sekarang saatnya untuk
> mengungkap
> masalah ini.
> Kita bermuhammadiyah yang paling mendasar adalah berislam.
> Itulah yang
> dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup
> setia dan
> pasrah dengan tatanan aturan hidup Islam. Termasuk yang
> dulu juga
> pernah diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya kurang tahu
> persis
> kalimat itu, hanya mendengar sepintas, “Hidup sepanjang
> kemauan
> Islam”.
>
> Inilah semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup
> ini dijalani
> menurut kemauan Islam. Bukan menurut kemauan adat, bukan
> pula menurut
> kemauan nenek moyang ataupun tradisi, tapi menurut kemauan
> Islam. Ini
> yang menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya hanya
> sempat
> mendengar-dengar pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama
> dari
> bermuhammadiyah itu.
>
> Para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah dituntut untuk tahu
> dan faham
> apa makna berislam itu. Tahu dan faham, tidak boleh hanya
> tahu saja.
> Doa yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi zidni ilma war
> zuqni fahma.
> Pertama, tentang ilmunya sendiri, kuncinya memang harus
> tahu. Tapi,
> tahu saja belum bisa melaksanakan, sehingga diikuti dengan
> yang kedua,
> warzuqni fahma, memohon diberikan kefahaman. Dengan faham
> itu baru ada
> jalan untuk meraih kebaikan, sebagaimana sabda Nabi man
> yurudillahu
> khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki baik oleh
> Allah maka
> orang tadi difahamkan  agamanya oleh Allah.
>
> Soal tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang
> sudah bisa
> tahu. Sekali mendengar ceramah sudah bisa tahu. Tetapi
> untuk bisa
> faham, tidak cukup dengan sekali mendengar. Maka, Nabi
> mesti mengulang
> sesuatu sampai tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab
> Riyadush-shalihin. Setiap kali men-datangi suatu kaum
> Rasulullah
> mengucapkan salam sampai tiga kali. Sementara, banyak di
> anatara kita
> yang malas mengucap salam diulang sampai tiga kali. Malahan
> mungkin
> kuatir disebut sebagai orang NU, karena biasanya orang NU
> itu yang
> mengamalkan hal ini.
>
> Kedua, Bermuhammadiyah adalah Berdakwah
>
> Sedikit mengenang orang-orang tua kita, mengenang bagaimana
> semangat
> mereka dalam “wa-tawashau bil haq”.  Ada sebutan yang
> cukup populer
> pada waktu itu, yaitu mubaligh cleleng. Cleleng adalah
> sebutan untuk
> jangkrik, yang kalau diberi makan daun kecubung
> ngengkriknya
> berkurang, tapi kalau diadu walaupun kakinya sudah patah
> dua-duanya
> nggak mau mengalah, kalau perlu sampai mati. Nah, mubaligh
> yang
> seperti itu disebut mubaligh cleleng.
>
> Termasuk salah satu yang disebut sebagai mubaligh cleleng
> ini adalah
> Prof. Abdul Kahar Muzakkir. Ceritanya, beliau ini jarang
> ketemu dengan
> mahasiswanya. Ketika suatu kali mahasiswa menemui beliau
> dengan
> mengucap salam, “Selamat pagi, Pak!”. Beliau bertanya,
> “Kamu siapa?”
> “Saya mahasiswa Bapak”, katanya. “Kembali sana,
> ucapkan dulu
> “Assalamu’alaikum”.
> Suatu kali ada orang bertamu ke rumah beliau. Mengucap
> salam dengan
> “kulonuwun“. Berkali-kali diucapkannya salam itu, tidak
> dijawab,
> padahal beliau ada di rumah dan tahu kalau ada tamu. Karena
> berkali-kali salam tidak dibukakan pintu, tamu itu akhirnya
> bermaksud
> pergi. Sebelum sampai orang itu pergi, pintu dibuka oleh
> Prof. Kahar
> Muzakkir sambil berkata, “Kibir kamu ya?” “Kenapa?”
> tanya orang itu.
> Al-kibru umsibunnas wa jawahul–haq. Kibir itu meremehkan
> orang Islam
> dan tidak mau memakai aturan Islam. Sudah jelas ada
> tuntunannya
> mengucap salam “Assalamu’alaikum” kalau bertamu ke
> rumah orang koq
> malah “kulonuwun”. Inilah contohnya mubaligh cleleng.
>
> Menjadi anggota Muhammadiyah itu tidak sekedar hanya
> menjadi anggota
> saja. Kalau anda pernah tinggal di sekitar kampung
> Suronatan, dan
> kalau masih ingat, ada yang namanya Haji Khamdani. Saya
> masih sempat
> kenal orangnya, ketua Cabang Muhammadiyah Ngampilan.
> Pekerjaannya
> tukang kayu. Beliau termasuk orang yang telah mendapatkan
> sentuhan-sentuhan dari Kyai Ahmah Dahlan. Padahal, Pak
> Khamdani ini
> tidak termasuk orang terpelajar. Sekolahnya paling hanya
> sampai
> sekolah Ongko Loro. Beliau juga tidak termasuk orang kaya.
> Tetapi
> karena terkena sentuhan Kyai Ahmad Dahlan, merasa mau
> bertabligh nggak
> bisa, mau berdakwah pakai uang juga nggak ada uangnya, lalu
> beliau
> mengumpulkan tukang kayu, menyumbang untuk Muhammadiyah
> lewat
> keahliannya sebagai tukang kayu ketika sedang dibangun SR
> Muhammadiyah
> I (sekarang SD Muhammadiyah Suronatan). Ini adalah SD
> Muhammadiyah
> yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan berkat orang-orang
> yang punya
> ghiroh, diantaranya mujahid kayu tersebut.
> Jadi, apa yang bisa disumbangkan kepada Muhammadiyah,
> disumbangkannya
> sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang bisa bertabligh
> dengan
> kemampuan bertablighnya. Sampai-sampai, walaupun ilmu
> agamanya masih
> minim, ada mubaligh yang membaca saja pating pletot. Rabbil
> ’alamin
> dibaca rabbil ngalamin. Bismillah dibaca semillah. Laa
> haula walaa
> quwwata illa billah dibaca walawalabila, nekat untuk
> bertabligh.
>
> Itulah, karena sentuhan dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan,
> walaupun cara
> membacanya belum fasih, tapi berani bertabligh. Mubaligh
> yang demikian
> ini sekarang ini memang sering dicibir oleh orang-orang NU.
> Membaca
> Quran saja nggak bisa koq berani bertabligh. Oleh Kyai
> pasti dijawab,
> “Dari pada kamu, bisa baca Quran tapi nggak berani
> bertabligh. Inilah
> wajah Muhammadiyah yang kedua, yaitu bermuhammadiyah itu
> adalah
> bertabligh.
>
> Sejarah mengakui bagaimana penampilan anggun dakwah
> Muhammadiyah.
> Dosennya Pak Amien Rais di Fisipol UGM, Pak  Usman
> Tampubolon, orang
> Batak, beliau aktif di Dewan Dakwah  Islamiyah (DDI),
> tinggal di
> Jogjakarta. Disertasinya tentang adat Jawa. Beliau mengorek
> tentang
> adat Jawa yang hal itu bisa sangat menyinggung orang-orang
> Jawa.
> Promotornya tidak mau, mengembalikannya dan menyuruh Pak
> Usman
> Tampubolon untuk merubahnya. Pak Usman tidak mau merubah,
> “Wong saya
> sendiri yang menyusun koq disuruh merubah”, kata Pak
> Usman.
> Pak Usman berkomentar tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan. Aneh,
> katanya,
> dalam sejarah, ketika bangkit gerakan modern di Timur
> Tengah, dengan
> tampilnya Syeh Muhammad Abdul Wahab, yang karya paling
> terkenalnya
> kitab tauhid, “Al Ushulust-tsalasah”,30) ketika
> ajarannya diambil,
> mesti ada perang dan darah yang mengalir. Kuburan-kuburan
> di tanah
> Arab yang sudah begitu rupa, oleh Syeh Abdul Wahab
> diratakan. Maka,
> yang namanya Syeh Abdul Wahab ini, di Indonesia juga sangat
> ditakuti.
> Tentu kita juga ingat perjuangan Imam Bonjol dengan perang
> Paderinya.
>
> Ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lahir di Kauman, dan
> bahkan
> menjadi pegawai Keraton, koq bisa tenang, rukun dan asyik
> duduk
> bersama orang Kraton yang masih mempercayai nenek moyang
> dengan agama
> jahiliyahnya. Tidak ada sruduk-srudukan di antara mereka.
> Hal ini
> membuat Pak Usman Tampubolon heran. Sosiologi apa yang
> dimiliki Kyai
> Haji Ahmad Dahlan. Seandainya Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir
> dan
> mendirikan Muhammadiyah di Sumatera Barat, maka
> Muhammadiyah hanya ada
> di sana. Keadaan ini menarik. Fenomena apa ini, koq Kyai
> Haji Ahmad
> Dahlan tenang–tenang saja, mengapa tidak terjadi
> benturan.
>
> Pada sisi lain, kita juga menyadari adanya kepercayaan
> tradisi yang
> masih melekat di kalangan aktifis Muhammadiyah, terutama
> soal
> kematian. Memang Muhammadiyah telah membersihkan hal-hal
> bid’ah.
> Tetapi nampaknya masalah ini sekarang mulai bermunculan
> lagi.
> Dihidupkan lagi tradisi lama. Apalagi Sidang Tanwir di Bali
> yang lalu
> membicarakan topik Dakwah Kultural. Orang belum tahu persis
> koq sudah
> melangkah lebih lanjut.
> Jujur saja, dan harus kita akui, bahwa Muhammadiyah yang
> tadinya cukup
> anggun, dengan jasa besarnya yang telah ikut mencerdaskan
> bangsa ini,
> selama lebih kurang 93 tahun berdakwah, ternyata belum dan
> tidak
> sanggup menggoyang kekuatan Nyai Roro Kidul. 93 tahun bukan
> waktu yang
> singkat.
>
> Ini merupakan masalah yang serius, sebab kekuatan kaum itu
> sedemikian
> besarnya. Mereka punya seragam khusus dan punya pos-pos
> ribuan
> banyaknya. Yang kita kaget ketika Pemilu tahun 1999
> kemarin, kekuatan
> mereka seperti itu. Itulah barangkali yang
> melatar-belakangi Sidang
> Tanwir membicarakan masalah dakwah kultural. Hampir-hampir
> Muhammadiyah tidak menyadari tentang adanya  budaya-budaya
> itu.
> Masalah bagai-mana menari yang Islami, Muhammadiyah tidak
> bisa
> menjawab.
> Kalau saya ada jawaban lain kenapa perlu ada dakwah
> kultural. Saya
> lebih cenderung memakai alat yang lain. Apa Kyai Ahmad
> Dahlan waktu
> itu memakai dakwah kultural? Tidak. Yang memakai itu kan
> Walisongo,
> Sunan Kalijogo. Lalu, apa rahasianya Kyai Ahmad Dahlan?
>
> Satu keunggulan Muhammadiyah yang tidak dimiliki oleh
> yang  lain,
> adalah adanya karya amal Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad
> Dahlan sanggup
> menampilkan Islam yang bisa dilihat dan dinilai bermanfaat
> oleh ummat.
> Tidak tanggung-tanggung, Muhammadiyah telah melahirkan dua
> presiden,
> terlepas dari presidennya itu seperti apa. Bung Karno dan
> Soeharto
> adalah anak didik Muhammadiyah. Inilah jasa besar
> Muhammadiyah di
> bidang  pendidikan.
>
> Ketika berada di Boyolali dalam tugas Rihlah Dakwah, di
> sebuah panti
> asuhan yang gedungnya berlantai dua, sangat megah, saya
> diberitahu
> bahwa yang membangun gedung itu adalah seorang pensiunan
> dari Jakarta.
> Ia datang ke Boyolali mencari-cari orang Muhammadiyah. Ia
> mengakui
> dulunya lulusan SMP Muhammadiyah Nogosari Boyolali. Setelah
> lama
> menjadi pegawai di Jakarta kemudian ia ingat kembali
> Muhammadiyah.
> Sementara, kadang-kadang, kita kalau sudah jadi pegawai
> tidak kober
> lagi mikir Muhammadiyah, karena sibuk mikirin duit terus.
> Apalagi kita
> ini termasuk sebagai pewaris falsafah “sendu” (seneng
> duit), merasa
> senang dengan hal itu. Harus secara jujur kita akui bahwa
> kita memang
> senang terhadap duit.
> Nah, pensiunan dari Jakarta tadi punya tabungan dan ingin
> menyumbangkannya kepada Muhammadiyah. Semua tukang yang
> bekerja
> membangun panti itu ia yang bayar. Inilah salah satu contoh
> bagaimana
> pengaruh pendidikan Muhammadiyah.
>
> Kita juga bisa merasakan bagaimana sentuhan-sentuhan darah
> kita yang
> memang belum bisa dicerna dan baru sedikit sekali. Kalau
> kita lihat ke
> sekretariat PP Muham-madiyah, anggota Muhammadiyah sekarang
> sudah
> mencapai jumlah deretan 6 angka, tapi angka pertama baru 8.
> Artinya,
> belum ada 1 juta orang, itu pun masih dikurangi lagi dengan
> yang sudah
> meninggal. Inilah wajah Muhammadiyah yang kedua, wajah dari
> Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah yang perlu dibenahi.
>
> Ketiga, Bermuhammadiyah adalah Berorganisasi
>
> Pemahaman KHA. Dahlan terhadap Alquran surat Ali Imran ayat
> 104 telah
> melahirkan pergerakan Muhammadiyah. Tidak bisa dibayangkan
> bagaimana
> ulama pendahulu kita itu bisa menangkap isyarat-isyarat
> Alquran,
> sehingga memilih organisasi sebagai alat dakwah. Sebab,
> sebelum itu,
> organisasi yang ada sifatnya masih sederhana. SDI atau SI
> yang muncul
> sebelumnya karena kebutuhan yang  mendesak. SDI muncul
> untuk
> mengim-bangi perdagangan Cina. Sedang kelahiran SI tidak
> lepas dari
> pengaruh  politik. Kita tahu, di dunia politik ada dua
> rayuan, rayuan
> surga dan rayuan kursi. Sedang, di Majelis Tabligh yang ada
> cuma surga
> saja yang menjadi harapannya.
>
> Berorganisasi, oleh beliau-beliau ini, walaupun  saat itu
> belum ada
> Majelis Tabligh, tapi di benak para pemimpin kita itu sudah
> jauh
> sekali yang dijangkau untuk nanti bagaimana rencana ke
> depannya.
> Mengapa begitu yakin? Sebab tidak mungkin tegaknya Islam,
> izzul Islam
> wal muslimin, itu ditangani oleh orang per-orang. Saya
> tidak tahu
> persis, penduduk Indonesia saat itu berapa jumlahnya. Saya
> hanya ingat
> ada sekitar 77 jutaan penduduk Indonesia di tahun 1960-an.
> Jadi, pada
> jaman Kyai Dahlan itu kira-kira ada 30 jutaan penduduk
> Indonesia, pada
> saat lahirnya Muhammadiyah.
>
> Yang dihadapi Rasulullah pada jaman beliau, menurut Pak AR,
> hanya
> sekitar 700 ribu. Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan
> bahwa saat
> Haji Wada’ jumlah jama’ah yang hadir ada 140 ribu. Jika
> setiap orang
> punya lima anggota keluarga, maka jumlahnya sekitar 700
> ribu.
> Dibulatkan lagi, misalnya, menjadi  1 juta. Ummat yang
> sekitar 700
> ribu sampai 1 juta itu bisa ditangani karena ada figur Nabi
> Muhammad
> SAW, ada Abu Bakar, ada Umar bin Khattab, dan lain-lainya.
> Dan yang
> kita kenal lainnya, ada sepuluh sahabat Nabi yang dijamin
> bakal masuk
> surga sebelum Rasullah meninggal.
>
> Sekarang ini, kita kesulitan menentukan orang-orang yang
> seperti itu.
> Kalau toh ada hanya segelintir. Katakanlah, kalau saya
> membuat contoh
> tentang uswah hasanah, jujur saja, siapa orang Jogja yang
> layak
> menjadi uswah hasanah, kita kesulitan mencarinya. Belum
> lagi di
> Temanggung, siapa yang layak menjadi uswatun hasanah.
> Padahal
> Muhammadiyah telah berkembang sedemikian luas. Ini baru
> dari sisi soal
> uswah hasanah saja.
>
> Ketika Kyai Dahlan menyampaikan pengajian di Pekajangan
> Pekalongan,
> ada audien/peserta pengajian itu, yang memper-hatikan betul
> terhadap
> Kyai  Dahlan. Rupanya orang ini adalah orang alim dan
> orang saleh. Ia
> memperhatikan secara seksama wajah Kyai Haji Ahmad Dahlan.
> Diawasinya
> ekspresi wajah dan mimik Kyai Haji Ahmad Dahlan. Apalagi
> Kyai Dahlan
> waktu itu mengaku sebagai pimpinan Persyarikatan yang
> didirikan di
> Jogjakarta. Hanya dengan melihat wajah, orang saleh ini
> bisa
> menentukan apakah seseorang itu saleh, jujur, dan
> sebagainya. Ia tahu
> hal itu tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan, tapi ia merasa
> tidak puas
> dengan hanya melihat penampilan Kyai Dahlan waktu itu.
> Ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan  pulang ke Jogja orang tadi
> mengikuti.
> Sampai di Jogja ia bertanya kepada orang, di masjid mana
> Kyai Dahlan
> sholat. Ia tidak bertanya tentang apa, tapi cukup bertanya
> tentang
> sholatnya Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setengah jam sebelum
> adzan shubuh,
> orang itu sudah datang ke masjid, maksudnya mau menunggu
> jam berapa
> Kyai Haji Ahmad Dahlan datang. Ia tertegun karena orang
> yang
> ditunggunya sudah ada di Masjid itu. Lalu komentarnya,
> “Pantas kalau
> Kyai Haji Ahmad Dahlan mengaku sebagai pemimpin
> Muhammadiyah”. Orang
> itu tidak lain adalah Buya A.R. Sutan Mansur muda. Beliau
> adalah
> saudara dari Sutan Ismail, seorang mubaligh terkenal di
> Pekalongan,
> yang berasal dari negeri Minangkabau.
>
> Lain lagi cerita tentang Pak AR Fahruddin. Di mata saya
> beliau adalah
> orang yang paling zuhud di Muhammadiyah, satu-satunya ketua
> PP
> Muhammadiyah yang tidak punya rumah sendiri. Tempat
> tinggalnya di
> Jalan Cik di Tiro adalah milik persyarikatan Muhammadiyah.
> Ketika
> beliau meninggal, istrinya kemudian ikut salah seorang
> anaknya,
> Sukriyanto AR. Sekarang, bekas rumah beliau itu telah
> dipugar dan
> dibangun gedung berlantai tiga yang menjadi  kantor PP
> Muhammadiyah
> Jogjakarta yang baru, yang juga baru diresmikan pada 1
> Muharram yang
> lalu.
> Namun bukan ini persoalannya. Para pengurus PP Muhammadiyah
> kalau
> sakit biasanya memang dilayani oleh Rumah Sakit
> Muhammadiyah. Seperti
> RSU PKU di Jogja atau RSI di Jakarta. Lukman Harun ketika
> sakit,
> sebelum meninggal, juga dilayani oleh Muhammadiyah di RSI
> Jakarta.
>
> Ketika Pak AR kebetulan sakit dan mau operasi karena sakit,
> tidak ada
> satupun orang Muhammadiyah yang tahu. Pak AR sendiri juga
> tidak ingin
> diberi fasilitas. Tapi, sebuah kelompok pengajian kecil
> yang tidak
> jauh dari kediaman Pak AR tahu kalau Pak AR sakit dan mau
> operasi.
> Mereka tahu betul bagaimana keadaan Pak AR itu, seorang
> pensiunan
> pegawai Penerangan Agama Jawa Tengah yang gaji pensiunannya
> hanya 80
> ribu, bukan ratusan ribu. Kelompok  pengajian tadi lalu
> menyebarkan
> warta, dan terkumpullah uang sebanyak 600 ribu yang
> kemudian
> diserahkan kepada keluarga Pak AR untuk biaya berobat.
> Namun, setelah Pak AR sembuh, pengurus kelompok pengajian
> itu diundang
> Pak AR. Pak AR mengucapkan terima kasih atas bantuan
> tersebut,
> kemudian Pak AR memberikan bingkisan. Supaya puas, pengurus
> tadi
> membuka bingkisan itu. Di dalamnya ada uang 300 ribu.
> Pengurus
> kelompok pengajian itu kaget dan berkata bahwa mereka telah
> ihlas. Pak
> AR menjelaskan bahwa operasinya hanya menghabiskan biaya
> 300 ribu,
> maka sisanya dikembalikan.
>
> Coba, apa ada sekarang orang yang seperti Pak AR itu. Yang
> ada malah
> sebaliknya, ada mubaligh yang sampai menawar harga untuk
> sekali
> ceramahnya. Saya pernah pergi ke Sulawesi, berdampingan
> dengan
> seseorang yang bercerita bahwa ia pernah sekali mengundang
> penceramah
> dari Jakarta. Amplopnya mesti 6 juta, belum termasuk tiket
> pesawatnya,
> dan ini harga mati. Begitulah. Tapi, kalau kita aktif di
> Muhammadiyah
> tidak boleh seperti itu.
>
> Yang kita garap sekarang ini adalah ummat yang jumlahnya
> lebih dari
> 200 juta. Jika pada masa Kyai Haji Ahmad Dahlan itu
> kira-kira ada 30
> juta ummat yang juga  sudah memerlukan kekuatan untuk
> berdakwah, dan
> kekuatan itu berupa organisasi, maka sehebat-hebatnya
> Zainuddin MZ,
> yang dikenal sebagai da’i sejuta ummat, beliau tidak
> sanggup membangun
> ummat. Di Jogja juga ada mubaligh terkenal. Tapi,
> paling-paling beliau
> juga cuma bisa dikenal. Tidak akan bisa membangun ummat,
> karena untuk
> membangun ummat  diperlukan kekuatan massa, dan kita harus
> mau serius.
>
> Saya cukup tajam untuk menggugat tentang masalah pendidikan
> Muhammadiyah di sini. Saya buat global saja, baik UMS, UMM,
> UMY,
> UHAMKA dan sekitar 130  PTM, ditambah puluhan ribu sekolah
> Muham-madiyah, 90% siswa atau mahasiswanya adalah bukan
> putra
> Muhammadiyah. Termasuk di UMY, ketika saat itu ada training
> untuk
> mahasiswa baru, rata–rata sholatnya memakai usholli.
> Memang ada
> sedikit yang berasal dari IPM/IRM.
> Gugatan saya, baik yang di sekolah maupun yang di PTM,
> kalau mereka
> masuk di lembaga pendidikan Muhammadiyah, masuk dengan
> usholli dan
> keluar tetap usholli, maka Muhammadiyah sudah gagal dalam
> menyelenggarakan pendidikannya. Sehebat apapun sekolah
> Muhammadiyah,
> koq setelah sholat malah yasinan.
> Yang lebih ngeri lagi, karena kita tidak memikirkan hal
> itu, setiap
> tahun kita meluluskan sekitar 40 ribu siswa/mahasiswa. Dari
> sebanyak
> itu, berapa yang kemudian menjadi mujahid dakwah?
>
> Saya pernah berbicara dengan Pak Umar Anggoro Jenie (mantan
> Ketua
> Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah) , ketika menjelang
> Muktamar di
> Jakarta tentang hal ini. Siapa di antara alumni perguruan
> Muhammadiyah
> itu, yang tampil menjadi mujahid dakwah, pada hal mereka,
> kurang lebih
> lima tahun, di tangan kita, merah hijaunya para sarjana itu
> kita yang
> membuatnya. Juga yang di sekolah-sekolah Muhammadiyah itu,
> paling
> tidak selama tiga tahun mereka kita didik.
>
> PKI, waktu itu, tidak punya lembaga pendidikan, tapi mereka
> mampu
> melahirkan kader-kader yang militan. Sedangkan di
> Muhammadiyah, siapa
> di antara kita yang pantas di sebut sebagai kader militan.
> Ini perlu
> menjadi PR kita, bagaimana mengurus Muhammadiyah secara
> serius.
> Jangan-jangan di Muhammadiyah ini malah cuma sekedar
> mencari
> penghidupan saja. Apakah kalimat semboyan
> “Hidup-hidupilah
> Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah”
> masih relevan?
> Padahal, waktu itu semboyan ini sangat terkenal dan biasa
> ditulis di
> majalah dan di dinding-dinding gedung amal usaha
> Muhammadiyah.
> Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini, dan bagaimana
> reaksi kita atas
> ungkapan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
>
> Namun, alhamdulillah, dapat kita perkembangan Muhammadiyah
> saat ini
> sudah sebegitu pesat. Kita mungkin tidak tahu, yang namanya
> sholat Ied
> di lapangan pada waktu itu belum ada di kota Jogjakarta.
> Sebab saat
> itu sholat Ied hanya ada di Masjid Besar Kauman. Oleh Pak
> Sultan,
> tidak boleh shalat Ied di Alun-alun, kalau ingin shalat Ied
> di
> lapangan disuruh cari tempat sendiri, sehingga Muhammadiyah
> membeli
> lapangan Asri di Wirobrajan. Dan sekarang ini sudah
> menyebar ke
> mana-mana kalau sholat Ied itu diseleng-garakan di
> lapangan, sesuai
> dengan sunnah Nabi. Memang ada 9 hadis tentang masalah ini,
> tapi hanya
> ada satu hadis yang menyebut shalat Ied di masjid dan itu
> pun hadis
> dhoif.
> Kalau kita lihat di masjid-masjid, jika ada garis shaf yang
> miring
> tidak sejajar dengan bangunan masjid (karena menyesuaikan
> arah
> kiblat), itu adalah hasil dari perjuangan Kyai Dahlan.
> Dulu, untuk
> memperjuangkan lurusnya arah kiblat ini, langgar Kyai
> Dahlan di Kauman
> dirobohkan oleh tentara Kraton, karena Kyai Dahlan
> membetulkan arah
> kiblat di Masjid Besar Kauman. Itu adalah salah satu contoh
> pengorbanan beliau.
>
> Orang tidak tahu bagaimana jasa-jasa Kyai Haji Ahmad
> Dahlan. Termasuk
> dalam hal qurban yang dilaksanakan di kantor-kantor,
> sekolahan-sekolahan , dan lain-lainnya. Semua itu adalah
> jasa Kyai
> Ahmad Dahlan. Sekarang, dapat kita lihat sudah merebak di
> mana-mana,
> misalnya di kantor bupati menyembelih qurban seekor lembu,
> gubernur
> juga seekor lembu, dan sebagainya. Padahal menyembelih
> qurban di
> kantor dan sekolahan itu tidak ada nashnya. Alasanya hanya
> satu, yaitu
> latihan. Dan masih banyak lagi amal usaha Muhammadiyah yang
> dengan itu
> orang menjadi tahu Islam yang sebenarnya, melalui
> karya-karya Islami
> Muhammadiyah tersebut.
> Yang namanya surat Al-Maun, dulu hanya menjadi hafalan
> orang saja.
> Tapi di benak Kyai Dahlan, jadilah pengamalan dari surah
> itu,
> panti-panti asuhan, rumah sakit-rumah sakit, yang merupakan
> pemahaman
> beliau atas surat Al-Maun.
>
> Di sinilah keberhasilan dakwah Muhammadiyah dapat dilihat.
> Tanpa ada
> benturan yang berarti ia menjadi  diminati oleh ummat.
> Cuma, sekarang
> masalahnya terletak pada diri kita sendiri, karena kita ini
> sudah
> menjadi pewaris amal usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan.
> Pertanyaannya,
> untuk apa amal usaha yang telah diwariskan Kyai Haji Ahmad
> Dahlan itu.
> Mau diapakan, misalnya, anak-anak asuh panti asuhan yang
> hidup, makan,
> dan semuanya dicukupi Muhammadiyah, mau diapakan lagi
> mereka ini kalau
> tidak kita jadikan kader kita.
>
> Keempat dan Kelima, Bermuhammadiyah adalah Berjuang dan
> Berjihad serta
> Berkorban.
> Yang keempat, bermuhammadiyah itu berjuang dan berjihad.
> Yang kelima, bermuhammadiyah adalah berkorban.
> Untuk dua hal yang terakhir ini belum sempat saya angkat.
> Sebenarnya
> mau saya sampaikan karena waktunya belum ada, maka saya
> minta maaf.::
>
>
> *) Transkrip Ceramah Ustadz Ibnu Juraimi dalam Pengajian di
> PDM
> Temanggung Jawa Tengah. Ditranskrip oleh Arief Budiman Ch.

BELAJAR DARI IMAM GHAZALI

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya.... pertama," Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?".
Murid-muridnya menjawab "orang tua,guru,kawan, dan sahabatnya".
Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "MATI". Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)

Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua.... "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".
Murid -muridnya menjawab "negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang".
Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "MASA LALU". Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga.... "Apa yang paling besar di dunia ini?". Murid-muridnya menjawah "gunung, bumi dan matahari".
Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "NAFSU" (Al A'Raf 179).
Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".
Ada yang menjawab "besi dan gajah".
Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "MEMEGANG AMANAH" (Al Ahzab 72).
Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?"...
Ada yang menjawab "kapas, angin, debu dan daun-daunan" .
Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah MENINGGALKAN SHOLAT. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.

Dan pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"...
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "pedang".
Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah "LIDAH MANUSIA" Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

WAHAI SAUDARAKU INILAH NERAKA


الحمد لله الذى جَعَلَنا مِنْ عِبادِهِ الْمُخْلِصِيْْنَ ووَفَّقَنا لِلْعَمَلِ بِما فيهِ صَلاحُ الاسْلامِ والمسلمين. أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الهادى الى الصراط لمستقيم أما بعد،، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….
dakwatuna.com - Neraka adalah tempat yang disediakan Allah swt. bagi orang-orang kafir. Mereka adalah orang-orang yang membangkang terhadap syariat Allah dan mengingkari Rasulullah saw. Neraka merupakan wujud siksa Allah kepada musuh-musuh-Nya dan penjara bagi mereka yang berbuat dosa. Tempat ini adalah suatu kehinaan dan kerugian yang tiada taranya.
“Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau hinakan dia; dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.” (Ali Imran: 192)
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir.” (Ali Imran: 131)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….
Sosok yang berdiri tegak menjaga api neraka adalah malaikat. Perawakannya besar. Ekspresi wajah dan suaranya amat garang. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang tidak pernah durhaka kepada Rabb yang menciptakan diri mereka. Mereka senantiasa patuh terhadap semua perintah Rabb mereka. Coba simak ayat Al-Qur’an ini.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Jumlah malaikat penjaga neraka ada sembilan belas, seperti yang firman Allah swt.,
“Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan, (neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia, di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). (Al-Muddatstsir: 26-30)
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu kecuali sebagai ujian bagi orang-orang kafir.” (Al-Jin: 31)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….
Tahukah Anda seperti apa api neraka itu? Sanggupkah kulit dan daging Anda menahan panasnya yang membakar?
Rasulullah saw. bersabda, “Api kamu ini hanyalah satu bagian dari tujuh puluh bagian api di neraka jahannam.” Para sahabat mengatakan, ”Yang ini pun sudah cukup berat panasnya.” Berkata Nabi, ”Bahkan api neraka itu melebihi sebanyak enam puluh sembilan kali lipat panasnya api dunia.”
“Api neraka jahannam telah dinyalakan seribu tahun hingga menjadi merah. Kemudian dibakar lagi selama seribu tahun hingga menjadi putih. Kemudian dibakar lagi selama seribu tahun hingga menjadi legam, seperti malam yang gelap gulita.” (HR Tirmidzi).
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….
Siapapun orang yang dimasukkan ke dalam neraka, dia tidak akan keluar darinya. Pintu neraka berdiri kokoh dan tertutup rapat. Itulah pejara bagi orang-orang yang menganggap remeh berita tentang pengadilan akhirat.
“Dan sesungguhnya jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.” (Al-Hijr: 43-44)
“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang (pintunya) ditutup rapat.” (Al-Balad: 19-20)
Orang-orang kafir dihalau ke neraka jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah para penjaganya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kalian Rasul-rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Rabbmu dan memperingatkanmu akan pertemuan hari ini?” Mereka menjawab, “Benar telah datang.” Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang kafir. Dikatakan (kepada mereka), “Masukilah pintu-pintu neraka jahanam itu, sedang kamu kekal di dalamnya.” Maka neraka jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (Az-Zumar: 71-72)
Neraka itu mempunyai tujuh pintu, tiap-tiap pintu darinya adalah bagian yang sudah ditentukan.” (Al-Hijr: 44)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah….
Orang-orang yang abadi di dalam neraka adalah golongan kafir dan munafik. Ini firman Allah swt., “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 39)
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami serta menyombongkan diri terhadapnya, mereka itulah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-A’raf: 36)
“Tidakkah mereka, orang-orang munafik itu mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, mereka kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.” (At-Taubah: 63)
Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zhalim (musyrik) itu, ”Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal, kamu tidak diberi balasan melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (Yunus: 52)
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan siksaannya ialah orang yang diberi sepasang sandal yang talinya terbuat dari api neraka, lalu mendidihlah otaknya karena panasnya yang laksana air panas mendidih di dalam periuk. Dia mengira tiada seorangpun yang menerima siksaan lebih dahsyat dari itu, padahal dialah orang yang mendapat siksaan paling ringan.” (Bukhari-Muslim)
“Ada di antara mereka yang dimakan api sampai ke mata kaki, ada yang dimakan sampai pinggangnya dan ada pula yang dimakan sampai ke tenggorokannya.”
“Wahai manusia sekalian, menangislah! Jika tidak dapat menangis, maka paksakan dirimu untuk menangis! Karena sesungguhnya ahli neraka itu akan terus menangis hingga air matanya mengalir di pipi masing-masing, seperti air yang mengalir di sungai. Sampai air mata itu habis dan matanya pun pecah-pecah. Seandainya ada perahu yang diletakkan di situ, niscaya berlayarlah ia.” (HR Ibnu Majah)
Mudah-mudahan kita semua dibebaskan oleh Allah swt. dari adzab neraka. Amin, ya Mujibassailin.
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم